Pertemuan Dua Orang Penipu



Pertemuan Dua Orang Penipu
-Ciu Cahyono-

Mahan seorang lelaki yang selalu berpenampilan bersih dan sopan. Ia selalu keluar dari kamar di rumah susunnya dengan stelan baju rapi. Semua orang pun tahu bahwa Mahan lelaki dermawan. Setidaknya, dermawan bagi para tetangganya di rumah susun. Namun tak ada yang tahu, bila di balik segala kebaikan yang ditunjukkannya itu hanyalah kamuflase dari seorang penipu tengik. Tepatnya, Mahan adalah seorang pengedar uang palsu.

Mahan hidup di rumah susun yang sudah ditempatinya sekitar dua tahun, dan sudah dua tahun pula ia bertetangga dengan seorang tukang penjual obat jalanan. Hanya pada si penjual obat inilah dia belum pernah memberi sesuatu, entah barang atau oleh-oleh berupa makanan sepulang dari kota lain, seperti yang sering diberikannya pada tetangga lain.

“Aku tak akan memberikannya pada penipu jalanan sepertinya. Bahkan, aku akan memberi pelajaran padanya, suatu saat nanti.” begitu yang sering dipikirkan bila teringat pada si penjual obat.

Dan tibalah saat bagi Mahan memberi pelajaran pada si penjual obat. Mahan mengunjungi pasar tempat si penjual obat berceloteh panjang lebar tentang obat-obatnya yang mujarab.

“Aku beli satu botol, untuk badanku yang pegal-pegal ini!” teriak Mahan sembari berpura-pura memijit-mijit pinggangnya.
“Ah, Tuan Mahan, kenapa tidak mengunjungi saya di rumah saja?” tanya si penjual obat dengan berbisik.
“Apakah obat yang Anda tawarkan di sini tak semanjur dengan obat yang ada di rumah?” Mahan balik bertanya, tersenyum setengah mengejek, merasa menang.
“Baiklah. Ini obatnya.”
Mahan mengulurkan lembaran uang palsunya. Biasanya ia hanya mengeluarkan uang palsu di kota lain, tapi tidak untuk kali ini, untuk si tukang obat jalanan.
“Ambil semuanya.”

Setelah menerima obat Mahan menjauh dari orang-orang yang mengerumuni si penjual obat. Kini kepalanya penuh dengan rangkaian cerita, dengan tokoh utama si penjual obat. Cerita dalam kepalanya seperti ini: Si penjual obat kegirangan menerima uang; uang yang sangat besar untuk diperbandingkan dengan obat palsunya. Lalu, si penjual obat membelanjakan uang itu, dan ketahuan bahwa yang dibawanya tak lain uang palsu. Si penjual obat itu akan berkelit bahwa uang itu dari Tuan Mahan. Dan tentunya, orang-orang tak akan percaya pada kata-kata yang keluar dari mulut seorang penipu jalanan…

Tak sadar, Mahan tersenyum sendiri. Ia terus menjauh dari tempat si penjual obat bercerita tentang kemanjuran obat buatannya. Di sebuah tikungan jalan ia mendekati seorang lelaki yang tengah berdiri dan membaca koran.

“Apa yang Anda tunggu di sini?”
“Teman. Ya, saya sedang menunggu seorang teman,” jawabnya ringan.
“Apa Anda bersedia menerima sesuatu dari saya?”

Lelaki itu melipat lembaran koran, dan mulai mengawasi dengan sungguh-sungguh siapa lelaki rapi di depannya.

“Andakah yang bernama Tuan Mahan?” tanyanya.
“Ya…” Mahan berbangga hati. “Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Belum, tapi banyak orang yang bercerita betapa Anda sangat dermawan.”
“Jadi, Anda bersedia menerima ini?”
“Itu… bukankah itu obat pegal-pegal si penjual obat di sana?”
“Ah, pasti Anda tak mau menerima obat yang tak manjur ini…”
“Bukan begitu, Tuan. Justru saya ingin Anda ikut merasakan betapa obat itu sangat manjur.”
“Manjur? Tetapi…” Mahan masih menyodorkan botol obat tanpa label itu.
“Kalau saya menerima maka Anda tak akan berkesempatan merasakan kemanjuran obat itu. Lagipula, mengapa Anda membelinya kalau tidak untuk diminum sendiri? Kalau Tuan ingin memberi derma pada si penjual obat mengapa tidak langsung saja memberi uang atau makanan?”
Mahan menimbang-nimbang perkataan lelaki itu. “Katamu tadi… ini diminum?”
“Bukan dioleskan.”
“Si penjual tidak mengatakan ini untuk diminum…”
“Apa ia menyuruh Tuan mengoleskan obat itu ke badan?”
“Tidak juga.”



Ketika matahari mulai condong ke barat, si penjual obat melangkah kuyu memasuki kamarnya.

“Aku kecopetan,” katanya pada sang isteri.
“Jangan cemas, besok pasti terganti.”
“Tuan Mahan membeli sebotol obat pegal-pegal. Nampaknya terburu-buru, ia tak meminta uang kembaliannya. Sebetulnya, kalau kita masih pegang uang, kita bisa makan satu minggu darinya.”
“Jangan mengingat-ingat uang yang sudah terpakai atau hilang.”

Sementara itu, di kamar Mahan, beberapa polisi membuat beberapa catatan atas mayat yang mereka hadapi. Beberapa tetangga yang memanggil polisi setelah mendengar suara mengerikan dari kamar Mahan masih dimintai keterangan.

“Dia keracunan. Pasti karena botol yang masih dipegangnya ini…”
“Kalau botol itu saya tahu pasti, Pak Polisi. Itu dari si penjual obat, juga tetangga kami. Tapi, kami keberatan jika Pak Polisi menyebut ini perkara keracunan. Saya sering memakai obat pegal-pegal semacam ini, juga dari si penjual obat, dan manjur. Hanya saja, memang tidak untuk diminum, cukup dioleskan ke badan yang pegal. Anak kecil pun tahu hal ini…”
“Jadi, ada kemungkinan dia bunuh diri?”
“Kecuali jika, selain dermawan, ternyata Mahan juga seorang yang amat tolol!” ■