Pemotret Mayat



Pemotret Mayat
-Ciu Cahyono-

“Apa yang dapat kita peroleh dari menonton pameran foto mayat-mayat dengan wajah hancur, selain kengerian dan mimpi buruk?” Begitu komentar pemilik galeri tempat Nazar hendak melangsungkan pameran foto pertamannya.

Sebetulnya, ia tak mau galerinya disewa Nazar untuk pameran foto-foto mayat, tapi karena sedang butuh uang maka terpaksa dilepaskanlah galeri itu pada Nazar selama lima hari.

Pemilik galeri itu melontarkan komentar di depan kamera tv serta pada para wartawan koran, dan mereka menyiarkannya sehari sebelum pembukaan pameran.

“Kenapa Anda memberi komentar yang menjatuhkan saya selaku penyewa galeri?!”
“Anda tak bisa melarang saya berkomentar. Ingat, selain pemilik galeri, saya pun seorang kritikus fotografi. Lagipula, bukankah Anda hanya menyewa galeri saya, dan bukannya sekaligus menyewa saya untuk berkomentar soal pameran ini?!”

Nazar memutuskan untuk menyudahi adu mulut dengan pemilik galeri. Ia merasa tak lihai dalam hal memutar dan memelintir kata.

Warga kota yang mulanya ragu apakah hendak menonton pameran foto-foto mayat atau tidak, menjadiyakin untuk tidak menonton pameran itu setelah mendengar komentar pemilik galeri.

Saat acara pembukaan pameran kurang lima menit Nazar masih berharap, bahwa di kotanya, bukan hanya dirinya yang pemberani. Tapi, ketika menit berganti jam dan tak ada seorang pun yang masuk ruang pameran, ia hanya dapat berkata lirih:

“Hanya seorang lelaki paling pemberani saja yang dapat menghasilkan karya-karya ini. Dan, betapa orang-orang kota ini amat penakut, hingga menonton karya semacam ini saja tak berani!”

Hingga tengah malam ia tetap bertahan di ruang pameran. Tidak untuk menunggu pengunjung, tapi untuk mengingat kembali bagimana ia dulu pernah berjuang memotret wajah-wajah mayat yang sebagian besar hancur karena kecelakan lalulintas dan pembunuhan sadis.

Nazar tersenyum pahit, ketika teringat kembali pada satu kenyataan bahwa satu-satunya orang yang sudah melihat hasil perjuangannya hanyalah pemilik galeri yang banyak omong itu.

***

Esok harinya, telepon-genggam Nazar berdering, dari wartawan sebuah koran. Wartawan itu meminta bertemu, untuk acara wawancara, tapi tidak di galeri pameran.

“Kenapa? Anda takut melihat foto-foto karya saya? Saya tak menyuruh Anda melihatnya. Atau, Anda boleh menutup mata ketika mewawancarai saya di sini.”
“Ini tak sesederhana yang Anda bayangkan. Ini bukan perkara saya, dan orang lain, takut melihat foto-foto yang Anda pamerkan.”
“Lantas?”
“Ini perkara… mengapa saya harus ke pameran Anda setelah seorang kritikus berkomentar buruk tentang pameran Anda?”
“Sinting!” Nazar menutup telepon.

Kejengkelannya terhadap para wartawan dan pemilik koran di kotanya makin menjadi. Ia ingat saat setahun lalu menawarkan diri pada beberapa pemilik koran untuk menjadi penyumbang foto-foto mayat para korban kecelakaan dan pembunuhan. Mereka menolak, sambil mengolok-olok hasil jepretan Nazar sangat tak bernilai, dan juga sangat tidak manusiawi.

Mulai saat itulah Nazar memutuskan menjadi pemotret mayat. Ya, pemotret mayat yang hanya akan mempertontonkan hasil jepretannya setahun sekali dalam pameran tunggal ~tentu saja, karena tak akan ada fotografer lain yang mau karyanya bersanding dengan foto-foto mayat mengerikan dalam sebuah pameran fotografi~ dengan tema yang sama dari tahun ke tahun: sepotong wajah yang hancur.

***

Lima hari berlalu. Lima hari yang tak manis bagi Nazar. Ia pergi dari galeri dengan jalan gontai. Sekoper besar foto-fotonya makin memberatkan langkah dan gerak badannya. Kamera yang tergantung di leher mengetuk-ngetuk dada, sesuai dengan ayunan kaki dan sorongan badannya ke depan.

Saat menyeberangi jalan depan galeri pameran kepala Nazar dipenuhi segala kekecewaan. Hingga ia terlambat menyadari bahaya. Sebuah truk melaju ke arahnya. Ya. Sebuah truk dengan sopir setengah mengantuk di belakang kemudi yang berat.

Memang sudah jadi nasibnya. Ketika tersadar, dan beberapa detik sebelum tubuhnya terhempas, Nazar bukannya mencoba menghindari truk. Melainkan mendekap erat-erat koper besarnya; seolah tak rela jika wajah-wajah yang sudah hancur dalam kopernya dihancurkan lagi oleh truk.
Pemilik galeri yang tahu siapa korban kecelakaan kali ini segera turun ke jalan, dengan tak lupa menenteng kamera.

Maka, sore harinya…

“Ini pasti menarik; satu ironi bagi seorang pemotret mayat!” kata pemilik galeri pada pemilik koran.
“Benar juga. Selama ini warga kota belum pernah dan tak ingin melihat wajah-wajah hancur hasil jepretan si pemotret mayat. Kini, bila wajah si pemotret mayatlah yang dalam keadaan hancur, mereka pasti sangat ingin melihatnya!”
“Kau bisa memajang wajahnya setengah halaman…”
“Di halaman depan!”***

Dalam kumpulan Pantat.