Duel Sengit Janda vs Kobra



Duel Sengit Janda vs Kobra
-Ciu Cahyono-

Aku baru se-kali ketemu dia, di rumah seorang teman. Kami berkenalan. Noni, perempuan yang sedang kuceritakan ini, seorang pegawai pemerintahan, masih muda. Saat itu ia bersama suaminya, yang sepanjang percakapan selalu tampak canggung. Mungkin karena mereka masih tergolong pengantin baru. Atau, entahlah.

Dua tahun kemudian aku bertemu kembali dengan perempuan itu, di sebuah toko pakaian. Kebetulan aku sedang mencari kawan lama yang menjadi kasir. Sebelumnya aku telah mendengar dia bercerai. Tepatnya, baru saja bercerai.

“Aku ikut prihatin mendengar nasib perkawinanmu.”
“Terimakasih,” ucapnya, tersenyum. Tampak dia tak menunjukkan rasa sedih, atau setidaknya rasa kehilangan; setelah dua tahun berjalan bersama di toko pakaian kini harus sendirian memilih-milih pakaian.

Aku ingat kata pacar suatu ketika: Sepasang kekasih atau suami-istri akan berlama-lama di pusat-pusat keramaian, jika kemudian mereka bercerai, masing-masing dari mereka akan berusaha menghindari keramaian.

Pacarku tak selalu benar. Buktinya, Noni terus mencobai beberapa potong pakaian di kamar pas. Lama sekali.

“Memborong ya?”
Dia tertawa. “Tidak juga. Aku harus memilih pakaian yang berbeda dari yang selama ini kubeli. Bukan karena takut terkenang masa lalu, malahan aku ingin menantang kenangan masa lalu.”
“Maksudmu…” Aku bermaksud mengorek.
“Ya. Aku tak ingin jika suatu saat nanti ia melihatku memakai pakaian seperti pakaian-pakaian yang selalu ia nasehatkan untuk kupakai.”

Oh! Betapa perempuan ini membenci mantan suaminya.

Tiba-tiba Noni tertawa, seperti teringat sesuatu, lalu katanya, “Bahkan, aku mencopot lampu di kamar tidur, karena ia selalu menginginkan lampu itu dinyalakan siang-malam. Aku juga membiarkan jendela kamar tidur terbuka siang-malam.”

“Karena mantan suamimu menutup jendela itu siang-malam?”
“Yup!”
“Maling dan pemerkosa pasti suka itu.”
“Ada teralis besi.”
“Mata tetangga bisa melewati teralis saat kau ganti baju.”
“Ada korden. Pokoknya, segala yang ia sukai akan menjadi sesuatu yang kubenci.” Ia berhenti sejenak, menata napas. “Aku perempuan yang kuat, kan?” lanjutnya dengan nada sesumbar.

Aku tersenyum. Aku mengingat rumah kecilnya. Rumah sekecil itu pastilah hanya memiliki satu kamar tidur, terletak di samping teras depan. Pikirku: Kenapa tidak sekalian saja ia merobohkan rumah, membakar perabotan, lalu mendirikan tenda sambil menunggu uang tabungan cukup untuk membangun rumah baru yang sama sekali tak ada hubungannya dengan mantan suaminya.

Setelah membayar belanjaan Noni keluar toko dengan langkah seringan kapas terbawa angin. Aku sendiri baru pulang setelah pemilik toko mulai memencet-mencet kalkulator, menghitung uang, dan mencocokkan nota.

Dalam perjalanan pulang kepalaku dipenuhi oleh tingkah Noni, si perempuan kuat. Kuputuskan untuk memilih jalan memutar supaya dapat melewati rumahnya. Dan, tak dapat kutahan senyum saat melihat jendela kamarnya yang rendah terbuka.

Paginya, kuceritakan pertemuan dengan Noni pada teman yang dulu mengenalkannya padaku.

“Noni minta cerai, karena merasa suami hanya dapat menghabiskan gaji dan uang tabungannya. Si suami berdagang segala macam tapi gagal terus.”



Sendok pertama makan siangku baru kukunyah saat mendengar kabar dari teman-teman wartawan yang mangkal di kantor polisi. Kabar yang membuatku tersedak. Ah, betapa tragis! Ia memang perempuan yang kuat menolak dan mengalahkan segala bentuk kenangan pemberian mantan suami. Tapi tidak untuk gigitan ular berbisa.

Si janda ditemukan oleh tetangga sebelah sudah dalam keadaan mati dua jam lalu, dengan tubuh kaku membiru di atas ranjang. Polisi menemukan bekas gigitan ular di sekujur tubuhnya. Diperkirakan bisa ular itu sudah menyiksanya sejak tengah malam.
Namun, bagi teman-teman wartawan, fakta yang paling menghebohkan dalam kasus kematian Noni adalah ditemukannya bangkai ular berukuran lumayan besar tersampir di sela-sela teralis jendela.

“Duel Sengit Janda vs Kobra” menjadi headline koran lokal besok hari. ■